10 Hasil Studi tentang Pernikahan di 2012

Penelitian-penelitian yang menjawab beberapa fenomena seputar pernikahan.

Ada banyak pertanyaan yang berkelebat di kepala pasangan saat menjalankan hubungannya. Berusaha menjawab segala pertanyaan lewat ilmu pengetahuan pasti, para peneliti mencoba melakukan studi untuk membuktikan mitos, asumsi, maupun nasihat-nasihat seputar pernikahan. Berikut ini 10 hasil penelitian berkait pernikahan:

1. Ragu-ragu sebelum pernikahan bisa menjadi pertanda pernikahan tak langgeng
Gugup, khawatir, dan segala perasaan ragu sebelum pernikahan adalah hal yang lumrah dialami kedua insan yang akan menikah. Namun, bila keduanya mengalami kegugupan yang amat sangat, menurut penelitian, ini bisa menjadi pertanda hubungan pernikahannya tak langgeng.

Hasil penelitian yang dipublikasikan di Journal of Family Psychology di bulan September lalu melaporkan, pasangan yang mengalami keraguan besar sebelum menikah, dalam waktu 4 tahun, 12 persen di antaranya bercerai. Angka prevalensinya lebih tinggi bila yang merasa gugup teramat sangat itu adalah si mempelai perempuan. Artinya, gugup luar biasa dan tidak yakin akan pernikahannya bukanlah perasaan yang normal.

2. Pernikahan membuat perempuan lebih sering minum minuman keras
Hasil studi terhadap perempuan di Amerika Serikat (AS) yang dilansir University of Cincinnati, AS pada bulan Agustus lalu menyatakan, perempuan yang menikah cenderung mengkonsumsi lebih banyak minuman keras ketimbang perempuan yang bercerai. Perempuan menikah cenderung minum sekitar 9 gelas minuman keras per bulannya dibanding perempuan bercerai, yang rata-rata minum sekitar 6,5 gelas minuman keras per bulan.

Sementara bagi lelaki yang menikah, justru jumlah gelas minuman yang dikonsumsi secara rata-rata, berkurang. Sebelum menikah, para lelaki yang turut dalam studi mengkonsumsi sekitar 19 gelas per bulan, sementara lelaki yang bercerai mengkonsumsi sekitar 22 gelas per bulan.

Studi ini juga menunjukkan, lelaki lajang mengkonsumsi lebih banyak minuman keras dibanding perempuan lajang.

Karena itu, diperkirakan, meningkatnya jumlah minuman keras yang dikonsumsi perempuan yang sudah menikah adalah akibat mengikuti jumlah gelas minuman yang dikonsumsi suaminya, sementara lelaki yang menikah berusaha mengikuti kebiasaan minum pasangannya. Begitu pernikahannya berakhir, pola konsumsi minuman kerasnya pun kembali seperti sebelum menikah.

3. Pernikahan bisa meningkatkan daya juang penderita penyakit jantung
Studi yang dipublikasikan di Journal of Health and Social Behaviour pada bulan Maret mengungkap, pasien yang baru melewati operasi jantung saat masih dalam lingkup pernikahan memiliki kemungkinan kembali pulih 3 kali lebih besar ketimbang orang yang melajang. Makin kuat dan bahagia pernikahannya, kian besar pula kemungkinan perempuan dengan penyakit jantung yang menjalani operasi jantung untuk kembali pulih. Diperkirakan para peneliti, memiliki pasangan yang mendukung gaya hidup sehat memiliki peran besar dalam kesembuhan pasien.

4. Ajakan menikah dari lelaki lebih diharapkan
Rumornya, Britney Spears dan Elizabeth Taylor pernah melamar lelakinya untuk menikah. Walau kesetaraan gender sudah dielu-elukan, namun sepertinya, untuk urusan lamaran menikah lebih disukai datang dari lelaki. Hasil studi yang dilakukan di University of California mengungkap, tak ada satu pun mahasiswa yang suka pada ide perempuan melamar lelakinya. Lamaran masih diharapkan datang dari lelaki kepada perempuan.

5. Hubungan baik dengan mertua punya mengubah pemikiran untuk bercerai
Menurut Terri Orbuch, MD, bila seorang lelaki memiliki hubungan baik dengan mertuanya, kemungkinan keluarga yang ia bina untuk bercerai berkurang hingga 20 persen.

Namun, kebalikannya, bila seorang istri memiliki hubungan yang baik dengan mertuanya, kecenderungan untuk pernikahannya mengalami perceraian justru meningkat hingga 20 persen. Alasannya, di suatu titik, si istri akan menganggap mertuanya terlalu ikut campur. Sementara, para suami yang memiliki hubungan baik dengan mertuanya tidak terlalu mengambil pusing dan tak memasukkan segalanya dalam hati.

Jadi, dirangkum para peneliti, untuk para perempuan, menjaga batasan yang cukup dengan mertua adalah hal yang penting, dan mungkin bisa menyelamatkan pernikahan.

6. Pasangan berkulit putih yang menikah memiliki kemungkinan hidup lebih lama ketimbang pasangan kulit putih tak menikah tapi hidup bersama
Menurut hasil penelitian yang dipublikasikan di Journal of Marriage and Family di bulan Agustus, pasangan dari ras kaukasia yang menikah memiliki angka mortalitas yang rendah dibanding pasangan "kumpul kebo". Namun, hal ini tidak berlaku pada pasangan campuran Afrika-Amerika. Hal ini bisa terjadi karena pasangan kulit putih tidak menganggap "kumpul kebo" sebagai sebuah hubungan pernikahan, sehingga tingkat mortalitasnya tak terpengaruh dari hidup bersama. Sementara bagi pasangan berkulit hitam, tinggal bersama di luar pernikahan dan hubungan pernikahan dinilai setara, sehingga tingkat mortalitasnya setara.

7. Tak ada fase bulan madu
Riset yang dilangsungkan Australian Centre on Quality of Life merangkum, fase awal pernikahan (fase bulan madu) tidak selalu membuat pasangan merasa bahagia. Ketika sekelompok responden diminta menilai titik kebahagiaannya, para peneliti menemukan, pasangan yang baru menikah secara rata-rata menilai, tingkat kepuasaannya berada di titik 73,9. Sementara, pasangan yang sudah menikah setidaknya 40 tahun menilai kepuasan hubungannya berada di titik 79,8.

Menurut salah satu peneliti, Melissa Weinberg, PhD, hal ini bisa terjadi karena pasangan yang baru menikah sedang mengalami penyetaraan yang tak mudah. Mereka tiba-tiba harus mengambil keputusan-keputusan bersama dan menjalani transisi antara suami-istri yang rentan friksi. Hal ini bisa mengakibatkan rendahnya tingkat kebahagiaan.   

8. Menjelang perceraian, perceraian cenderung bekerja lebih lama
Hasil riset yang dipublikasikan di European Economic Review bulan November 2012 mengungkap, perempuan yang mengetahui pernikahannya akan berakhir dalam waktu dekat cenderung berlama-lama di kantor. Bukan untuk mengalihkan pikiran, tetapi mencoba mencari semacam bentuk jaminan. Dengan kata lain, para perempuan berharap, dengan bekerja lembur, posisinya di kantor akan lebih aman dan berharap bisa mendapat uang tambahan. Ini dilakukan sebagai kewaspadaan bila ia bercerai dan si suami tak lagi menafkahinya dan anak-anaknya.

9. Pasangan menikah lebih mudah mendapatkan pekerjaan
Data di bulan November yang dipublikasikan di Insee, lembaga statistik nasional di Prancis mengungkap, nyaris 95 persen dari pasangan yang berusia 30-54 tahun memiliki pekerjaan. Sementara, hanya 77 persen dari lelaki lajang dan 78 persen perempuan lajang di usia sama yang memiliki pekerjaan tetap. Walau banyak faktor-faktor lain yang memengaruhi tingkat perolehan pekerjaan ini, namun, memiliki keluarga yang harus dinafkahi dinilai menjadi jaminan bagi perusahaan. Orang yang sudah menikah butuh pekerjaan dan akan berusaha bekerja sebaik-baiknya agar bisa terus mendapat pemasukan.

10. Pasangan yang berbagi tugas rumah secara merata cenderung bercerai
Hasil penelitian yang dilangsungkan di Norwegia dan dilaporkan pada bulan Agustus mengungkap, pasangan yang membagi rata tugas di rumah memiliki kemungkinan bercerai sebesar 50 persen lebih banyak ketimbang pasangan yang menimpakan semua tugas rumah kepada perempuannya.

Menurut para peneliti, perceraian yang terjadi bukan semata-mata karena masalah pembagian tugas di rumahnya, melainkan karena pandangannya. Pasangan yang membagi tugasnya dinilai sebagai pasangan yang berpandangan modern, artinya tidak lagi memegang teguh "aturan" tradisional yang mengatakan, tugas-tugas di rumah sebaiknya dilakukan perempuan saja. Karena itu, mereka pun juga tidak terlalu memusingkan larangan untuk bercerai, juga cenderung berpikiran terbuka, termasuk terhadap pilihan untuk bercerai, sehingga tak takut untuk memilih bercerai.
Sumber : Klik Disini

Post a Comment

Previous Post Next Post